Rabu, 07 Juli 2010

Benarkah ?

Kini malamku mulai sepi, Jum. Seoi tanpa ucapan selamat malam dan ketenangan menyambut tidur, tapi itu seua tak aku pikirkan, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang .

Percakapan kita kemarin membuatku muak dan menaikkan darah hingga ke otak. Kata-katamu yang perlahan ternyata mencabik hati lemahku. Arghhh, aku sudah bosan dengan semua ini, Jumi. Aku tak bisa menahan lagi derita ini sendiri, sudah cukup aku tahan semua kesabaranku, dan tenaga logikaku, meski akan berakhir seperti ini. Dulu aku memang yakin dengan semua ini, yakin karena kau selalu ada disampingku, tapi ternyata, semua itu bohong, yaa, inilah yang aku pikirkan dan aku perbuat dulu, yang harus aku tuai sekarang, aku harus melipat air mata dalam perasaan gamang tak menentu ini.

Selalu kakaku yang menjadi sasaran, dia tau semuanya tentang kita Jumi. Bahkan tentang semua sifat burukmu, aku selalu menahan air mata di bahunya, aku berusaha menyembunyikan semua sedihku dihadapannya, meski aku merasa, dia pun tau apa yang aku rasakan. Jumi, dia begitu pengertian, sampai ketika aku merasakan kekesalan yang memuncak terhadapmu, aku lontarkan kata-kata kasar padanya. Dia dengan rela menerima semua ini, apa kamu, aku, tidak malu dengan sikapnya ?. Aku selalu berpikir, seandainya kamu berani seperti keberanianmu sparing dalam hobymu, mungkin aku akan bangga dan aku akan merelakanmu dengan tenang. Lihatlah Jumi, kelauanamu tak lebih dari banci kutukan, sama sekali tidak terhormat dan tidak dewasa. Aku kira kau dewasa, tapi nyatanya, tak lebih dari anak kemarin sore yang tau dunia. Jangankan kau tegas padaku, dengan pendirianmu pun kau masih gamblang. hahahaaa . Aku hanya bisa tersenyum sinis, melihat wajahmu, Jumi.

Malam kemarin mungkin menjadi momen bahagia untukmu, karena dengan mudah kau akan melepasku pergi, yaaa, aku sudah tau itu Jumi. Aku sudah merasakan semua itu, ternyata kau kalah dengan tikus tanah, kasian !. Seandainya kau kalah oleh wanita semampai berpenampilan prima, aku akan miris, tapi ini ? sudahlah, Tuhan adil ternyata. Akupun harus menerima semua ini dengan hati ikhlas dan lapang dada, selapang lapangan gelora bung karno. hehhehee, Jumi, lihatlah, aku masih bisa bercanda dan tertawa dengan semua keadaan ini, ironis memang, tapi inilah hidupku yang harus aku jalani, penuh dengan teka-teki dan peristiwa yang tak menentu, aku yakin ini bukan kutukan dari Tuhan, melainkan segudang ilmu yang Tuhan beri untuk kelangsungan hidupku yang lebih baik.

Sekarang, aku masih terduduk manis, berharap aku bisa melewati semua ini dengan baik, walau aku tau, taka ada kata menyesal yang terlontar dari bibir manismu, Jumi. Padahal aku selalu berusaha mengalah dengan semua ini, tapi sudahlah, keadaan sudah berubah, dan aku sudah membuka mataku lebar-lebar. 

Hanya satu yang aku mau darimu, mohon pergi dengan sikap jantanmu, dengan semua keberanian yang kedua oran tuamu banggakan, dengan semua pengecualian yang selama ini kau pegang, denga  hati nurani, yang selama ini emnjadi pegangan mutlak smeua manusia. Jika kau tak bisa melakukan itu semua. Aku tak tau mahluk apakah kau ini ..

Sudahlah Jumi, sudah selesai semua cerita yang kita tulis selama hampir 6 bulan ini, sudah cukup aku meratapi semua, dan muali sekarang, aku harus melangkahkan kakiku lebih lebar, dan membukakan mataku, dengan luv bila perlu. hahahahaa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar